Adikku yang "Istimewa"

Nama aslinya Abdul Gofur, tapi kami sepakat memanggilnya Ipung, dia adik laki-lakiku. Mengapa nama panggilannyanya bisa melenceng jauh? Tak usahlah dipusingkan, itu demi melegalkan kehendak nenekku yang sangat tidak suka dengan huruh “R”. Nama Abdul Gofur itupun didapat dengan jalan yang berliku dan tidak mudah, melalui pengundian konyol yang memalukan. Konon, ketika adikku itu masih meringkuk dalam perut ibuku, ayahku pergi ke seorang kyai di sebuah pondok pesantren hanya demi meminta sebuah nama indah, bermakna dan siapa tahu membawa sebuah keberuntungan bagi keluarga kami. Dengan keyakinan yang sangat kuat dan didorong keinginan yang sudah lama terpendam sehingga berurat akar dalam hati, ayahku hanya meminta satu nama untuk anak laki-laki, hanya nama laki-laki (padahal waktu itu dukun beranak dan bidan kampungpun menggelengkan kepala saat ditanya prediksi jenis kelamin janin yg berada diperut ibuku), ayahku sangat menginginkan anak laki-laki sebagai penerus penebar benihnya, selain itu mungkin dia bosan karena sudah terlalu lama menjadi satu-satunya lelaki dalam keluarga kecil kami, ayahku kesepian. Maka ketika ibuku benar-benar melahirkan seorang bayi laki-laki, ayahku senang bukan buatan, membuncah bukan kepalang, tak henti-henti dia bersujud syukur, dan sepanjang hari itu dia terus mengulum senyum.
Hari ketujuh, saatnya upacara pemberian nama tiba, sepasar kata orang jawa. Seingatku usiaku 9 tahun kala itu, sehabis adzan maghrib ayah mengumpulkan kami, aku dan ibuku, untuk duduk bersama di ruang depan. Hatiku berdebar, penasaran ingin tahu seperti apakah nama yang ayah dapat dari kyai itu, pasti indah, berseni dan menakjubkan. Ayah memandang kami berdua dengan senyum lebar, matanya berkilat-kilat riang.
“baiklah, ayah akan mengumumkan nama untuk adikmu” ujarnya sambil menatapku, aku tersenyum dan berpaling menatap ibuku yang juga tersenyum. Ayah membuka sebuah gulungan kertas kecil yang sedari tadi digenggamnya, gulungan kecil itu mirip gulungan kertas untuk arisan, dan rupanya sejak mendapatkannya dari kyai itu, ayah tak pernah membukanya sampai hari ini, padahal kalau tidak salah itu sudah empat bulan yang lalu.
“namanya….Abdul Salim….” Itu nama yang terbaca oleh ayah dalam gulungan itu. Ayah menatap kami berdua, menunggu reaksi. Aku memandang ibu, sepertinya dia tak keberatan, kulihat ayah juga tak bimbang. Dan rupanya hanya aku yang tak suka nama itu, aku sedikit kecewa, dalam bayanganku nama pemberian itu akan semegah nama para khalifah dan sahabat nabi. Namun demi mendengar nama itu mengapa benakku langsung teringat pada si salim teman sekolahku yang nakalnya minta ampun, kegemarannya menyingkap rok anak perempuan di kelas, pun aku teringat dengan pak salim teman ayah yang kerjanya hanya mengelus burung dara aduan siang dan malam. Ah…nama itu tak keren, aku menggeleng dan ayah mengerti. Maka dia mempersilahkan kami (aku lebih tepatnya) mengajukan nama tambahan untuk kemudian diundi. Ibu mengusulkan nama Abdul salam, rupanya ibu tak ingin menelikung jauh dari pilihan ayah. Lalu tiba-tiba aku teringat sebuah nama dari seorang pejabat menteri yang kulihat di acara teve, namanya Abdul Gofur. Aku pilih nama itu dengan harapan siapa tahu kelak nanti adikku akan menjadi seorang pejabat, minimal pejabat kelurahan.
Maka acara pengundianpun dimulai, aku menulisakn nama-nama itu disebuah kertas kecil, menggulungnya lalu kumasukkan kedalam botol kecil, sangat mirip dengan ritual arisan ibu-ibu. Kocokan pertama, ku buka kertas gulungan yang keluar…Abdul Salam…aku cemberut. Ayah menggulungnya, memasukkan kembali kedalam botol, dan mengocoknya ulang. Kocokan kedua…Abdul salim…wajahku memerah. Kocokan ketiga, Abdul salim lagi…mataku berkaca-kaca. Kocokan keempat, Abdul salam…air mata menggenang dipelupuk mata. Ayah dan ibuku menarik nafas panjang berkali-kali, akhirnya pada kocokan kelima…Abdul Gofur…muncul juga. Dan itu menjadi kocokan terakhir, aku tersenyum.
Ketika usia adikku 2 tahun, dia mengalami sakit panas tinggi yang hebat, kejang-kejang dan keluar busa dari mulutnya, selama satu bulan lebih ibu dan ayah bolak balik dari rumah sakit, bergantian menjaga adik. Kepala adikku dipenuhi dengan alat-alat medis yang tak kumengerti apa namanya, selang-selang kecil centang perenang di hidung, pergelangan tangan dan dikepala. Dan akhirnya kami bisa bernafas lega setelah akhirnya kondisi adikku pulih dan dokter mengijinkan kami membawanya pulang. Rupanya ini menjadi cikal bakal, ketidakberaturan panel-panel kabel dalam otak adikku yang kemudian menjelma menjadi karakter konyol, naïf, polos, bodoh tapi jahil yang bersemayam dalam tubuhnya hingga ia tumbuh besar. Goresan cerita menggelikan dimulai ketika adikku berusia 7 tahun. Inilah kisahnya.
Kami adalah penduduk pendatang yang mengadu nasib dikota, kami tinggal di salah satu kamar kos kecil, berkoloni dengan pendatang-pendatang lainnya. Kompleks koskosan itu sangat luas, terdiri dari 6 baris, setiap baris berisi 16 kamar yang saling berhadap-hadapan, jadi total keseluruhan 96 kamar. Untuk menertibkan penduduk pendatang, pemerintah daerah setempat, rutin melakukan pemeriksaan identitas penduduk. Yang dilakukan secara mendadak, dan pada jam-jam yang tidak memungkinkan mereka untuk kabur dan menghindar. Seingatku, itu minggu malam, pukul 12, udara berhembus dingin. Tiba-tiba kudengar suara kehebohan memecah kesunyian malam, suara-suara langkah kaki tergopoh-gopoh berseliweran, aku dan adikku terbangun dari tidur, “biasa, pecalang meriksa KTP” kudengar suara ayah yang sedang berbicara dengan ibu. Kami sekeluarga tenang-tenang saja, karena kami sudah menjadi penduduk resmi. Aku menguap dan merebahkan kepala dipangkuan ibu, ayah santai merokok, dan ipung adikku berdiri didepan jendela memperhatikan orang-orang yang tak punya KTP berlarian mencari tempat persembunyian. Satu persatu petugas pecalang memeriksa identitas penghuni kamar, yang kamarnya kosong dan ditanyakan oleh pecalang, kami dan penghuni lainnya yang ber-KTP mengarang berbagai alasan untuk melindunginya. Ayah menyerahkan dua lembar KTP, miliknya dan milik ibu saat petugas pemeriksa datang. Ketika para pecalang itu hendak pergi karena pemeriksaannya selesai dan hari itu tak dapat tangkapan, tiba-tiba adikku berlari menggamit salah satu tangan petugas, dan menariknya menuju kearah kamar mandi umum “disana banyak yang sembunyi pak” katanya enteng. Ayah dan ibu terlonjak kaget, panik, tapi tak bisa berbuat apa-apa karena salah satu dari pecalang itu menatap mereka lekat. Maka, disanalah, di gudang kosong, dekat deretan kamar mandi yang berbau pesing, akhirnya para pecalang itu mendapatkan tangkapan malam itu, atas petunjuk dari adikku yang terlalu kecil untuk mengerti arti kata dari “pengkhianatan”.
“tuh kan…apa kubilang” kata adikku lantang dan membusungkan dada, ketika petugas menemukan, laki-laki dan perempuan saling berjejalan dalam ruangan sempit, mencoba menyembunyikan diri. Berhamburan keluarlah mereka, sebagian ada yang menutup hidung dan hampir muntah-muntah, rupanya ada yang membuang angin ketika persembunyian berlangsung. Petugas menggiring mereka satu persatu, mereka menggerutu dan mengumpat adikku. Adikku tersenyum bangga ketika petugas menepuk-nepuk bahunya.
Banyak peristiwa-peristiwa konyol yang melibatkan adikku, dan sering membuat ayah ibu hanya bisa mengelus dada. Jika ada pengamen, tukang kredit, penagih uang kos kebetulan datang mengunjungi salah satu kamar kos, yang mendadak sepi karna penghuni nya sembunyi atau pura-pura tidur, adikku akan berteriak “ada kok didalam, baru saja tak liat lagi makan”, dan adikkupun dengan tulus ikhlas bersedia membantu para penagih itu menggedor-gedor pintunya. Jika membantu ibu berjualan baju, menjaga toko ketika mendadak ibu ada keperluan, ibu harus benar-benar memastikan dia mengerti, karena kalau tidak, bisa- bisa yang didapat bukan laba tapi rugi. Contohnya suatu hari ibu meminta adikku menjaga toko, karena ibu mendadak sakit perut ingin buang air besar, ibu menjelaskan “ini baju harganya 15 ribu, tapi kalau ditawar 12 ribu, kasih aja ya” adikku manggut-manggut dengan keras, memberi sinyal bahwa ibu tak perlu khawatir dan tak perlu menjelaskan ulang. Saat ibuku sedang asyik jongkok di toilet, dia mendengar percakapan adikku dengan pembeli.
“ini baju harganya berapa dik?”
“harganya 15 ribu, tapi 12 ribu boleh juga kok” adikku menjawab dengan mantap dan yakin. Pembeli tersenyum, tak perlu repot-repot menawar, belum ditawar sudah turun sendiri, mungkin begitu bathinnya. Dan, ibuku berteriak sambil tergopoh-gopoh keluar dari kamar mandi….ipuuuung….
Waktu SD, dua kali dia tak naik tingkat, saat kelas satu dan kelas dua, mata pelajaran yang ia kenal hanya satu, yaitu bahasa inggris. Bukan karena dia pintar dalam mata pelajaran tersebut, tapi lebih karena hanya mata pelajaran itu yang dirasanya memiliki nama yang keren. Maka jangan ditanya mata pelajaran apa yang dipelajarinya hari ini, dia akan dengan mantap menjawab “bahasa inggris”, baginya setiap hari adalah bahasa inggris. Adikku tak pernah merasa malu, tak pernah merisaukan kenapa dua kali tahun ajaran baru, teman sekelasnya juga baru. Tak pernah peduli pada gambar telur bebek yang sering nangkring di kertas ujiannya. Senyumnyapun akan mengembang jika di kertas itu sekali-sekali yang tergambar seekor bebek, bukan hanya telurnya saja, lumayan…katanya.
Adikku memiliki bakat terpendam yang tidak diketahui oleh ayah ibuku dan aku. Ibuku heran dan bertanya-tanya, mengapa tiap pulang sekolah kerap menemukan dua atau tiga lembar uang seribuan di saku seragamnya. Ibuku sangat yakin, berangkat sekolah tadi hanya membekali adikku dengan satu lembar seribuan saja. Hati ibu was-was, jangan-jangan adikku melakukan perbuatan tak terpuji. Dengan memasang wajah menuduh dan berkacak pinggang, didudukkanlah adikku dikursi tersangka untuk diintrogasi. Dan berceritalah dia dengan tenang akan bakat terpendamnya itu “aku memijat pak guru” katanya. Rupanya, terkadang saat jam istirahat, bermula dari permintaan satu orang guru, lalu diikuti guru lainnya, adikku kerap diminta tolong untuk memijat tangan atau punggung para guru yang kelelahan akibat mengajar, sebagai upahnya dia akan menerima dua tau tiga lembar uang ribuan. Dari sanalah ia mendapatkan uang itu, dan sejak saat itu panel-panel otaknya sedikit bekerja mengkalkulasikan sesuatu yang bernama uang, pelajaran berhitung pertama yang dapat dipahaminya, setelah dua tahun tinggal kelas. Bahwa memijat adalah prospek masa depan yang cerah, karna dengan memijat dia bisa mengumpulkan uang seribuan lebih banyak dari yang ia dapat dari ibu. Maka jika teman-temannya yang lain menuliskan dengan indah dalam biodatanya tentang profesi kelak yang akan diraihnya, ada yang menulis pilot, dokter, guru, presiden dan profesi menakjubkan lainnya. Adikku dengan tegas dan mantap menuliskan keinginannya di kolom cita-cita, yaitu Tukang Pijat.

Kawan, begitu banyak yang ingin kuceritakan tentang keistimewaan adikku. Masih banyak cerita yang ingin kubagi, karena dari kecil hingga dewasa sekarang masih saja dia istimewa (konyol, bodoh, jahil, polos). Kurasa bisa menghabiskan berlembar-lembar kertas jika kuceritakan, namun bagaimanapun keadaanya, kami sekeluarga menyayangi dan melindunginya, melebihi diri kami sendiri.

2 Komentar