Kenangan Bersama Kuntring

Aku termenung menatap foto sahabatku di laptop. Hari ini adalah hari paling bersejarah dalam hidupnya. Hari dimana dia diwisuda sebagai seorang istri. Iis Setiawati namanya. Lahir pada tanggal 17 Januari 1991. Walaupun beda tanggal, kami lahir di hari, bulan dan tahun yang sama. Dia menikah dengan Hendra. Mereka pacaran cukup lama dari sejak SMA. Oh ya, perkenalkan namaku Zaenudin Bangun Setiawan. Waktu kecil panggilangku Bangun, namun beranjak remaja panggilanku menjadi Zae. Disadari atau tidak, nama belakang kami sama. Sama-sama berakhiran setia. Yang beda adalah imbuhan di belakang kata setia. Wan untuku dan Wati untuk Iis. Aku tak mengerti kenapa nama kami sama. Yang jelas bukan sebuah kebetulan karena dari kecil sampai sekarang aku dan Iis sudah seperti kakak adik.

Kami berdua termasuk pendek. Iis memiliki keunikan di rambutnya. Sebenarnya aku tak tega mengatakannya, jadi aku sebut rambut Iis itu bergelombang. Bukan gelombang yang biasa-biasa saja, tapi gelombang tsunami. Hehehe (sorry ya kuntring!!!). Dia kebalikan dari diriku. Aku pemalu mutlak tapi dia malu-maluin mutlak (lagi-lagi aku membullynya, marah gak ya kalau dia baca? hmmm). Percaya dirinya tingkat tinggi. Dia paling suka dengan semua yang berbau gitar. Kalau seandainya Hendra potong rambut terus di sebelah kiri-kanan kepalanya diukir gambar gitar, aku yakin dari cinta Iis yang bernilai 100 buat Hendra bisa meningkat menjadi 1000. Hahaha tong ngambek nya Hen! (jangan marah ya Hen!). Kelebihanya dibanding yang lain adalah kesetiaannya. Entah itu terhadap orang yang ia anggap sahabat ataupun pacarnya. Tapi jangan sekali-kali menyakiti dia. Kalau sudah benci, ya benci.

Cicariang, antara 1994-1995 (kisah masa kecil)

“Is, sasapedahan yuk (Is, main sepedah yuk)!”.
“Hayu, kamana (Ayo, kemana)?”.
“Ka pudunan deket Gorong-gorong (Ke turunan dekat Gorong-Gorong! Gorong-gorog = nama suatu tempat)!.”
“Hayu (Ayo)!”

Kami pun bergegas pergi main sepeda ke turunan yang dimaksud. Oh ya, sebenarnya kami baru belajar bermain sepedah. Aku mengajaknya ke tempat tersebut untuk menguji seberapa mahirkah kita sekarang.

“Siap Is?”
“Siap!”
“1, 2, 3…”
Kami pun meluncur. Aaaaaaaa… Dan… Buk. Kami berdua jatuh. Bibir Iis dan bibirku jeding (jeding = jontor) karena sebelum jatuh terantuk stang sepeda. Lutut Iis lecet.
“Awww….” Iis meringis.
“Nyeri Is. Tong ceurik nya (Sakit Is, jangan nangis ya)!”
“Urang mah sieun dicarekan ku Enek (Aku takut dimarahin Enek)!”

Enek adalah panggilan untuk Neneknya Iis. Orangnya cerewet, hobi berteriak. Ah pokoknya gak kalah sama Mpok Nori dari segi kualitas vokal. Tapi walau begitu Enek orangnya baik, buktinya Iis diurus sama beliau. Kalaupun Enek marah, itu tandanya Enek sayang. Dan hari itu pun kami pulang dengan sambutan suara vokal Enek yang melengking.

Ke esokan harinya aku dan Iis beserta anak-anak kecil lainya bermain babancakan (babancakan = permainan petak umpet dengan menggunakan genting atau batu yang disusun).

Cang kacang panjang anu panjang ucing….

“Icas ucing! (Icas jaga! ucing di sini diartikan penjaga. Ucing bisa juga artinya kucing. Tergantung kalimat yang digunakan).” Seru kami serempak. Satu persatu dari kami melempar batu untuk menjatuhkan tumpukan genting. Brak… Tumpukan genting rubuh. Semua anak berhamburan mencari tempat persembunyian yang paling aman. Sementara Icas sebelum mencari kawan-kawanya yang bersebunyi, ia terlebih dahulu harus menyusun genting sesuai jumlahnya semula. Aku dan Iis bersembunyi di bekas kandang domba milik Ua Udin.

“Bangun, yakin di dieu aman (Bangun, yakin di sini aman)?”
“Yakin!”
“Kok, di kandang domba sih? Bau!”
“Nu penting mah aman (Yang penting kan aman)!”
“Bancak Kiki, bancak Oman, bancak Bayu!” (bancak = kata-kata mutlak yang harus disebutan ketika orang yang menjadi penjaga menemukan temanya).

Rupa-rupanya satu persatu temanku dapat ditemukan. Tinggal kami berdua. Kalian tahu, bersembunyi di kandang domba adalah ide paling jenius. Buktinya, sampai saat ini aku dan Iis belum ditemukan. Walau sebenarnya bau sih! hahaha. Tapi yang penting kan aman.

“Ahhh…” Iis berteriak. Aku kaget, apa pula ini. Sudah bau-bau sembunyi di kandang domba malah teriak. Aku melirik padanya. Dia memegang tangananya.
“Kunaon Is (Kenapa Is)?”
“Lengeun Iis nyeri, tadi kacepet awi (Tangan Iis sakit, tadi kejepit bambu).”
“Bancak Iis, bancak Bangun.” Icas menemukan kami. Dia terlihat sumringah.
“Enggeusan heula Cas (Udahan dulu Cas)!”
“Licik maneh mah (licik kamu)!”
“Leungeun si Iis misalah, kacepet awi (Tangan si Iis terkilir, kejepit bambu)!”
Kami pun mengakhiri permainan. Tampak kekecewaan di wajah Icas. Apa boleh buat!!!

Tak ada satu pun teman yang mau mengantar Iis pulang. Tidak lain dan tidak bukan karena takut dimarahi Enek. Dan itu benar, aku yang mengantar Iis sendirian harus menikmati Enek yang sedang beratraksi dengan suaranya yang luar biasa. I Love You’r Voice Enek dan aku kangen.

Sejarah Asbo dan Kuntring…
Hari itu adalah pelajaran Matematika. Seperti biasa, Wali Kelas kami Pak Suhanda sedang asik menerangkan di depan kelas. Jujur, aku lebih suka di Wali Kelasi Bu Nining. Tapi sayang, Bu Nining hanya sebentar menjadi Wali Kelas karena dia hendak menjadi TKW ke Arab. Aku yang memang sedang malas belajar malah asik melihat lubang isi balpoin. Ku lihat dengan sepenuh hati dan jiwaku. Rasanya lubang itu lebih menarik dibanding perhitungan matematika di papan tulis. Dan… Plak. Satu kapur mendarat tepat di jidatku.
“Hei Asbo, nanaonan maneh? Lain mah merhatikeun pelajaran (Hei Asbo, ngapain kamu? Bukanya memperhatikan pelajara)!!”
Keningku berkerut. Namaku Bangun, sejak kapan berganti Asbo. Aku diam menunduk. Tak berani menjawab. Boro-boro menjawab, melihat wajahnya pun takut. Teman-temanku tertawa terbahak-bahak. Memang, kesalahan kebanyakan orang Indonesia itu adalah menertawakan kesalahan orang lain. Ini bukan acara lawakan. Untung yang dapat nama baru hari itu bukan cuma aku. Ada satu sahabat baikku juga yang mendapat nama baru. Kadut, itulah nama baru Solihin. Gara-gara dia ketahuan mengantuk. Tapi tetap saja, nama Asbo lebih populer dibanding Kadut. Yang membuat populer tidak lain dan tidak bukan adalah Iis. Untuk mengimbangi kekejamanya, aku menambahkan nama baru di belakang nama Iis, yakni Kuntring. Iis Kuntring. Hahaha. Jangan tanya kenapa aku memanggilnya Kuntring, karena aku pun tidak pernah tahu kenapa. Yang jelas kata Kuntring melintas begitu saja. Dan aku rasa itu tidak kalah keren dengan Asbo. Kalian tahu, Asbo itu apa? Setelah aku tanyakan kepada sang pemberi nama baru, Asbo singkatan Asli Bodo. Kejamnya. Padahal dari kelas 4 sampai sekarang di kelas 5, aku masuk peringkat 5 besar. Jangan berfikir 5 besar dari bawah, ini asli.

Mendaki Gunung Burangrang…

Akhirnya sampai juga di kaki Gunung Burangrang. Udaranya sejuk, pemandanganya hijau. Pohon pinus berjejer rapih. Dari kejuhan tampak ladang sayuran milik penduduk lembang. “Ini yang aku tunggu-tunggu.” batinku. Sebelum melakukan pendakian, kami shalat ashar di mushola.
“Ok, teman-teman. Sebelum melakukan pendakian, alangkah lebih baiknya kita berdo’a terlebih dahulu. Demi kelancaran di perjalanan. Semoga semuanya akan baik-baik saja. Berdo’a di dalam hati menurut agama dan kepercayaanya masing-masing, dipersilahkan…!” Kami pun berdo’a khusyuk.
“Berdo’a selesai. Oh ya, sebelum berangkat tolong persiapkan senternya dan satu orang cowok menggandeng satu orang cewek.” Komando Kang Atang.

Kami pun naik gunung dengan semangat 45. Aku menggandeng Iis si Kuntring. Lagi-lagi dia. Sebenarnya banyak cewek di sini. Aku tadinya pengen gandengan sama Maya. Tapi kang Atang menyuruhku menggandeng Iis.

Kini kami telah tiba di puncak ke 3. Rasa capek mulai terasa. Kami beristirahat dalam dekapan gulita malam. Nyanyian tonggeret semakin riuh. Tadi Ikah pingsan, maklum Ikah memang agak lemah. Bukan hanya Ikah, Fany juga.
“Zae, Iis sesek!” tiba-tiba Iis mengeluh sesak nafas. Aku bingung mesti ngapain.
“Iis punya penyakit sesek!” lanjutnya. Aku masih belum bisa berbicara karena bingung.
“Iis gak bawa obat!” lanjutnya lagi.
“Kenapa ikut. Udah tahu punya penyakit. Gak bawa obat lagi. Is, semakin kita naik, oksigen akan semakin menipis!” akhirnya bisa bicara juga.

Iis mendapat pertolongan dari senior. Ikah dan Fany sudah sadar. Kami pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Kali ini Iis di gandeng Kang Atang dan aku berjalan sendiri. Kasihan deh aku, adaa gak ya kunti yang mau aku gandeng?. Hahaha. Tinggal 3 puncak lagi kata Akang senior di dekatku.

“Hati-hati, naik ke puncak ini harus satu orang-satu orang!” terang salah satu senior kami. Kang Diki yang mengawalinya. Tanah di puncak ini berbeda, dia agak mudah lepas. Tanahnya kering. Aku naik urutan ke dua.

“Mengenang…” Aku membaca monumen kecil itu ketika aku menginjakan kaki di puncak paling rese ini. Nyaliku sedikit menciut. Monumen itu adalah monumen untuk mengenang dua pendaki asal Bandung yang jatuh dari puncak ini.

Setelah semuanya berhasil naik, kami melanjutkan perjalanan yang tinggal sedikit lagi. Dan begitu sampai rasanya lega. Sudah ada satu tenda kecik ketika kami tiba di sana. Mereka hanya berdua. Kami mendirikan tenda. Tendanya hanya satu. Walaupun ukuran besar, tetap saja tenda itu tak muat menampung kami semua. Akhinya aku tidur di luar tanpa alas tanpa atap.

Ketika aku, Euis dan Ikah asik mendengar cerita pengalaman Kang Ukim. Tiba-tiba…
“Zae, anterin Iis yuk!” Iis datang menghampiri.
“Antar ke mana?”
“Iis pengen pipis.”
“Hah, kok minta diantar Zae sih. Kan Zae cowok Is. Coba minta anter cewek, Risa kah, Dewi ka…”

Iis pun pergi dan kulihat dia bersama Risa. Aku melihat langit yang indah, bintang-bintang begitu banyak mereka saling berkedip untuku. Di atas gunung, aku merasakan hidup ini bebas. Sementara Ikah dan Euis masih menjadi pendengar setianya Kang Ukim.

“Aaawww…” tiba-tiba kami dikejutkan sesuatu. Arahnya dari tempat Iis tadi kencing. Ternyata dia hampir terjatuh ke jurang. Kalau tidak ada Aef, pasti di tempat dia kencing tadi besoknya dibuatkan monumen. “Mengenang Iis Setiawati… Kuntring.”

Hari beranjak pagi. Dinginya malam mulai berganti hangatnya sang mentari. Dari kejauhan tampak kabut menyelimuti hutan pinus. Sunrise begitu indah. Berbanding dengan keindahan puncak gunung, kami terlihat kumal. Bagaimana tidak, tidur tanpa alas di tanah berdebu. Kami saling bertatapan, tertawa terbahak-bahak melihat penampilan kami. Yang rupawan menjadi jelek. Yang jelek semakin jelek. Dan kami pun akhirnya mengemas barang-barang kami untuk kemudian turun. Kalian tahu, aku takkan pernah bisa melupakan kenangan di mana aku merasa begitu dekat dengan langit.

Kelompok Huru-hara…

Aku datang tergesa menuju kelas XII IPA 1 tercinta. Hari itu ada pelajaran kimia dan kami akan praktikum mengenai korosi pada Paku. Aku pun harus mengecek persiapan yang dibawa oleh kelompkku. Kelompokku beranggota 6 orang. Aku kebetulan sebagai Ketuanya. Iis Setiawati, Hendri Mulyana, Wilma Hidayah, Sandy Sri Rahayu dan Cucu Tresnawati sebagai anggota. Alat dan bahan praktek yang harus kami bawa adalah paku 8 buah, air garam, air mentah, air yang sudah dimasak, dan minyak tanah.

Bel pun berbunyi. Setelah memastikan alat dan bahan praktek yang harus kami bawa komplit, kami pun bergegas menuju ruang laboratorium. Karena Pak Hasym, Guru Kimia kami telah menunggu di sana. Setelah sampai, kami menyiapkan tempat. Pak Hasym pun tak lama memberi penjelasan. Kami mendengarkan dengan seksama. Baru setelah penjelasanya usai, kami menyiapkan alat dan bahan yang kami bawa plus yang harus kami cari di Lab. 8 tabung reaksi berikut raknya, gelas kimia, pipet, larutan NaOH, CaCl2, HCl dan Mg.

Alat dan bahan pun telah siap. Kami membaca cara kerja dan mengikutinya. Wilma bertugas memberi label nama pada tabung reaksi dengan nama larutan yang akan dilarautkan. Iis bertugas menaruh paku ke masing-masing tabung reaksi, dan aku yang memegangi tabung tersebut. Pro… Tabung reaksi bocor, Iis salah cara menaruh paku. Dia menjatuhkan paku. Harusnya menaruh bukan dijatuhkan. Kelompok kami panik, mulailah suasana rusuh. Ternyata bukan hanya kelompok kami saja yang mendapat kendala seperti itu, tetapi kelompok yang lain juga ada. Iis dan aku saling menyalahkan.
“Maneh sih nyekelanna salah, dasar Asbo (Kamu sih yang pegangnya salah, dasar Asbo)!”
“Maneh anu salah mah ngasupkeuna, lain kitu carana. Geus nyaho kacana ipis. Jadi weh bolong (Kamu yang salah masukin, bukan begitu caranya. Udah tahu kacanya tipis. Jadi bolong kan)!”

Sementara kami saling menyalahkan. Wilma, Sandy, Cucu dan Hendri malah tertawa-tawa. Memang kelompok huru-hara. Ada masalah malah tertawa. Akhirnya aku berembuk. Diam-diam aku menyuruh Wilma mengambil tabung reaksi baru. Jangan sampai Pak Hasyim tahu, karena kalau tahu tidak menutup kemungkinan kami disuruh menggantinya. Misi menyelinap pun sukses. Iis ku larang lagi memasukan paku. Digantikan oleh Sandy. Cucuk bergantian dengan Hendri memasukan larutan ke dalam tabung yang sebelumnya telah diisi paku. Aku dan Wilma memperhatikan reaksi yang terjadi pada paku dan mencatatnya.

Akhirnya, selesai juga. Kami membereskan semua peralatan. Kelompokku masih belum waras, kacau praktek kali ini. Dan memang selalu kacau setiap praktek. Ada-ada saja hal konyol yang terjadi. Seperti yang tadi. Kami masih tertawa-tawa. Setelah mengembalikan semua peralatan yang digunakan praktek tadi pada tempatnya, kami pun bergegas memasuki kelas. Sisa jam akan kami gunakan untuk mendiskusikan laporan.

“Zae, iuranna sabaraha (Zae, iurannya berapa)?” Celetuk Wilma disambut anggukan yang lain. Alih-alih membahas laporan, malah menjadi membahas iuran.
“Seperti biasa.”
“Sok weh sabaraha oge. Nu penting mah laporanna jadi, asal tong mahal teuing (Silahkan aja mau berapapun. Yang penting laporannya jadi, asal jangan terlalu mahal)!” sambut Cucu. Aku heran katanya berapa pun boleh, tapi kok jangan mahal. Gak konsisten. Terkadang aku berfikir aku ini terlalu bego. Laporan aku yang bikin, iuran pun aku tetap ikut. Kadang malah nombok. Pengennya sih Hendri yang bikin. Dia punya komputer di rumahnya. Tapi dia pernah bilang, lebih baik aku iuran aja. Berapapun, asal jangan terlalu mahal. Itu sama aja kaya apa yang Cucu bilang tadi.

- @ -
Aku menekan kata shutdown. Acara nostalgianya telah selesai. Mungkin apa yang aku ceritakan ini hanyalah sebagian kecil dari ceritaku bersama Iis Kuntring. Aku bersyukur memiliki dia. Sepanjang hidupku sampai saat ini, dia adalah sahabat terbaik yang aku miliki. Bahkan sekarang dia menjadi mata kedua ku. Yang selalu memberi informasi tentang adik-adiku yang aku tinggal di kampung. Terimakasih untuk apa yang telah kamu lakukan untuku. Maaf aku tak bisa hadir di hari paling bahagia dalam hidupmu. Love you my best friends. Dulu, hari ini, esok dan seterusnya. Hahaha

Senin, 17 Juni 2013. Di Ruang Kerja TUK
Tulisan ini aku persembahkan sebagai kado pernikahan buat Iis Setiawati alis Kuntring
FB: zaenudin_setiawan[-at-]yahoo.com
Email: bangun36[-at-]gmail.com

Cerpen Karangan: Kang Zaen
Aku hanyalah seorang pembaca yang mencuntai menulis.

0 Komentar